Rabu, 02 Juni 2010

UU KIP ; PELUANG ATAU ANCAMAN


Setelah dua tahun melalui masa sosialisasi, akhirnya pada 1 Mei 2010 Pemerintah resmi memberlakukan Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kehadiran Undang Undang ini menjadi suatu hal penting bagi setiap Warga Negara untuk memenuhi hak haknya dalam mengakses dan memperoleh pelayanan informasi dari badan publik secara transparan, cepat, mudah dan tepat waktu.

Di era persaingan global dewasa ini, keinginan masyarakat untuk memperoleh keterbukaan informasi menjadi semakin tinggi, apalagi menyangkut pelayanan informasi publik yang diselenggarakan oleh badan publik. Sangat dirasakan betapa tertutupnya badan publik untuk memberikan informasi kepada publik selama ini. Contoh sederhana, setiap tahun dilaksanakan seleksi Penerimaan CPNS pada lembaga pemerintah. Tapi sayang badan publik yang bertugas melaksanakan seleksi CPNS tidak transparan dalam memberikan informasi mengenai proses penilaian serta penentuan skooring hasil testing CPNS. Hal ini sering berimplikasi pada ketidakpuasan publik terhadap kinerja badan publik sehingga menimbulkan ketidak percayaan kepada pemerintah.

Kehadiran Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menjadi penyejuk ditengah gersangnya informasi publik yang dapat diakses secara transparan oleh masyarakat. Secara komprehensif UU KIP telah mengatur kewajiban badan/pejabat publik untuk memberikan akses informasi terbuka dan efisien kepada publik Contoh sederhananya seperti berapa biaya asli mengurus KTP atau paspor, bagaimana mekanisme penerimaan pajak, mengurus SIM, dll.

UU KIP mempunyai kedudukan penting untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Penerapan UU KIP akan mengubah budaya pelayanan di lingkungan birokrasi pemerintahan maupun badan publik lainnya untuk lebih transparan dan akuntabel yang diawasi langsung masyarakat.

Jika masa sebelum pemberlakuan UU KIP akses masyarakat untuk mengetahui jenis informasi publik yang dikelola oleh institusi pemerintahan sangat terbatas, kini peluangnya menjadi semakin terbuka luas untuk diakses oleh masyarakat kecuali informasi publik yang dikecualikan misalnya Informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan dapat menghambat proses penegakan hukum, informasi publik yang dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekeayaan intelektual dan persaingan usaha tidak sehat, informasi publik yang membahayakan pertahanan dan keamaman negara, informasi publik yang dapat merugikan ketahanan ekonomi negara dan kepentingan hubungan luar negeri dan momerandum atau surat surat antar badan publik yang menurut sifatnya dirahasiakan.

Sejak UU ini ditetapkan sampai pada tahap sosialisasi dan penyiapan piranti pendukung UU, muncul kekuatiran sejumlah pejabat publik yang merasa otoritasnya akan terancam jika tidak membuka lebar kran informasi publik kepada masyarakat. Kekuatiran ini terlalu berlebihan dan tak perlu dibesar besarkan, karena UU KIP justru menjadi landasan hukum untuk memilah jenis informasi mana yang berhak diketahui masyarakat dan jenis informasi mana yang bersifat rahasia.

Dulu, sebelum UU KIP diberlakukan, masyarakat kadang sulit membedakan mana Informasi yang berhak dibuka oleh Badan Publik dan mana informasi yang bersifat rahasia. Masyarakat dengan ketidaktahuannya sering menggugat lembaga pemerintah agar membuka seluas luasnya informasi kepada publik. Dengan hadirnya UU ini, badan publik mempunyai landasan hukum untuk menutup informasi yang bersifat rahasia.

Disadari sepenuhnya bahwa di era kekinian terdapat kecenderungan masyarakat yang senantiasa menuntut lembaga pemerintah dan badan publik lainnya agar membuka selebar lebarnya arus informasi kepada publik. Dengan hadirnya UU ini, badan publik tidak perlu merasa kuatir otoritasnya terancam. Justru UU ini menjadi payung hukum untuk melindungi hak hak pejabat publik jika menolak memberikan informasi tertentu yang bersifat rahasia kepada masyarakat.

Dengan membuka akses terhadap informasi publik diharapkan lembaga pemerintah termotivasi untuk bertanggung jawab pada pelayanan rakyat yang sebaik baiknya. Hal ini dapat mempercepat pemerintahan yang terbuka yang merupakan upaya strategis mencegah praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance).

Selain itu UU ini juga mempunyai tiga sumbu utama yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas yang pada intinya mengajak semua Lembaga Pelayanan Publik tidak terkecuali Lembaga Pemerintah tetapi juga Lembaga Non Pemerintah seperti LSM, Partai Politik, organisasi sosial, keagamaan dan organisasi kepemudaan yang operasional kegiatannya menggunakan seluruhnya dan atau sebagian dana yang berumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat dan atau bantuan luar negeris untuk semakin transparan dalam memberikan pelayanan dan informasi kepada publik.

Pasal Karet dan Komisi Informasi

Sekalipun UU ini telah didesain sedemikian rupa namun tetap muncul kekuatiran dari sejumlah pihak terdapat pasal karet yang akan menjerat kelompok tertentu. Misalnya pada pasal 54 ayat 1 menyebutkan “ Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan dipidana penjara paling lama dua tahun dan pidana denda paling banyak Rp.10.000.000,-- (Sepuluh Juta Rupiah).

Yang berpotensi terkena pasal ini adalah wartawan kata Bagir Manan (Tempo/4Mei 2010). Pasal ini menjadi pasal karet yang bisa menjerat profesi wartawan dalam memberikan informasi kepada publik. Karenanya menurut Bagir Manan UU KIP memerlukan aturan lanjutan. Untuk membahas masalah tersebut Bagir Manan berencana mengundang Kementerian Komunikasi dan Informatika, Komisi Informasi serta pers yang riskan terkena dampaknya.

Satu hal yang menarik dalam UU ini karena secara komprehensif telah mengatur tentang pembentukan Komisi Informasi. Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU ini dan peraturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar pelayan informasi Publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui mediasi dan atau Ajukasi nonligitas. Komisi Informasi dibentuk tingkat Pusat, Provinsi dan jika dibutuhkan dibentuk ditingkat Kabupaten/Kota.

Pembetukan Komisi ini justru menimbulkan pro kontra dari masyarakat yang menilainya akan menambah riwayat “pelengkap penderita” dari sejumlah Komisi Komisi yang telah dibentuk oleh negara. Sampai saat Undang Undang ini diberlakukan baru terbentuk tiga Komisi Informasi yaitu Komisi Informasi Pusat yang diketuai Ahmad Alamsyah Saragih dan Komisi Informasi Provinsi Sumatera Selatan dan Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur.

Lalu bagaimana dengan Sulawesi Barat ?. Suka atau tidak, suka pembentukan Komisi Informasi menjadi kebutuhan penting yang tidak bisa ditunda.. Rendahnya kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah yang dikeluhkan selama ini justru timbul akibat kurangnya keterbukaan informasi kepada publik. Secara empirik perilaku aparat untuk melakukan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme bermula dari ketidak jelasan informasi. Kalau Informasinya dibuka secara transparan maka ruang gerak para aparatur untuk melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme akan dipersempit karena dipantau langsung oleh publik. Kembali ke contoh sederhana yang diuraikan diawal tulisan. Seleksi penerimaan CPNS akan berjalan secara fair, jujur dan adil apabila informasi proses pelaksanaan seleksi dibuka secara transparan. Yang menjadi pertanyaan apakah setelah Komisi Informasi terbentuk, anggota komisioner dapat menjalankan fungsinya secara independen meski ia bertanggung jawab kepada Gubernur ?. Tidakkah akan menjadi institusi “ macam ompong ” sebagaimna nasibnya komisi komisi yang telah dibentuk oleh negara sebelumnya?. Jawabannya semoga tidak demikian.